Minggu, 18 November 2007

BEBERAPA URAIAN TENTANG KNOWLEDGE MANAGEMENT

1. Mengapa TI penting dalam Knowledge Management, karena dalam mengolah Knowledge Managemant diperlukan data dimana data ini akan diolah menjadi informasi dan informasi ini akan diolah lagi menjadi pengetahuan dimana dalam pengolahan data menjadi informasi kemudian informasi menjadi pengetahuan TI berperan dalam pengolahan atau proses tersebut, sehingga TI sangat penting dalam pengembangan Knwoledge Management untuk digunakan oleh pengguna sebagai pengetahuan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dewasa ini antara lain ditandai perubahan perilaku dalam pencarian informasi (information seeking) yang berdampak bagi lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang jasa informasi dan perpustakaan. Teknologi informasi sebagai yang bertugas menyimpan, mengolah dan mendistribusikan informasi dituntut agar mampu memberdayakan pengetahuan dengan menggali potensi yang dimiliki.

Kemajuan teknologi informasi menjanjikan kemudahan dalam manajemen pengetahuan (knowledge management) terutama bagi lembaga dalam bidang pengelolaan informasi secara elektronis termasuk perpustakaan. Perpustakaan sebagai salah satu penyedia informasi (information provider) harus berjalan seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dan kebutuhan informasi penggunanya. Bila dahulu fungsi perpustakaan lebih berkonsentrasi pada penyediaan informasi dalam bentuk fisik seperti dokumen tercetak dengan dilengkapi sistem katalog kartu, maka kini dengan berkembangnya teknologi informasi perpustakaan dituntut menyediakan sumber-sumber informasi dalam bentuk elektronik yang syarat dengan pengetahuan tak terstruktur.

2. Peran TI dalam menggerakan Knowledge Management dalam perusahan / organisasi yaitu dalam hal pengolahan data, diolah menjadi informasi kemudian informasi diolah menjadi pengetahuan sehingga Knowledge Management dapat dibentuk dengan baik dan selain itu TI juga berperan dalam pengimplementasian Knowledge Management untuk kemajuan perusahaan.Sehubungan dengan itu peran Ilmu pengetahuan menjadi makin menonjol, karena hanya dengan pengetahuanlah semua perubahan yang terjadi dapat disikapi dengan tepat. Ini berarti Pendidikan memainkan peran penting dalam mempersiapkan SDM yang berkualitas dan kompetitif. Ketatnya kompetisi secara global khususnya dalam bidang ekonomi telah menjadikan organisasi usaha memikirkan kembali strategi pengelolaan usahanya, dan SDM yang berkualitas dengan penguasaan pengetahuannya menjadi pilihan penting yang harus dilakukan dalam konteks tersebut

3. Mengapa perusahaan dapat berkembang dengan Knowledge Management, karena Knwoledge Management memberikan pengetahuan untuk perkembangan kemajuan suatu perusahaan serta memberikan suatu cara untuk mengimplementasikan Knowledge Management yang mana dalam Knowledge Management diperlukan faktor – faktor antara lain manusia, leadership, teknologi, learning, dan organisasi itu sendiri, selain itu suatu perusahaan tanpa Knowledge Management akan sulit berkembang untuk perusahaan itu sendiri, selain itu Knowledge Management dapat memberikan suatu proses pendokumentasian dari TACIT menjadi EXPLICIT dimana dokumentasi ini dapat digunakan untuk pengembangan perusahaan / organisasi.Bagi organisasi yang ingin menerapkan manajemen pengetahuan dalam organisasinya perlu menyadari pertama, bahwa pengetahuan ada pada orang dan bukan pada sistem, meskipun sistem punya data dan informasi yang dapat membantu proses pengetahuan. Kedua, penciptaan pengetahuan merupakan proses sosial, tercipta melalui interaksi antara individu-individu dalam kehidupan sehari-hari mereka. Selain itu Knowledge Managemant merupakan aset yang paling berharga dalam pembangunan organisasi atau perusahaan karena dari situlah suatu organisasi dapat mengelola semua aktivitasnya yang akan dikerjakan dari pegawai organisasi atau perusahaan.

Pengenalan Pada Tes Psikologis

Pengenalan Pada Tes Psikologis

Tujuan Pelajaran:

Setelah selesai mempelajari bab ini, siswa diharapkan mampu untuk:

  • Mengenali beberapa batu pijakan yang berhubungan dengan sejarah tes.
  • Menjelaskan sejarah perkembangan sejarah tes.
  • Menjelaskan sejarah perkembangan tes kepribadian.
  • Membahas permintaan-permintaan yang menjadi sebab diadakannya tes kepribadian.
  • Mendefinisikan istilah “tes psikologis”.
  • Menjelaskan sumber-sumber informasi mengenai tes prikologis.
  • Membahas prinsip-prinsip etis yang berhubungan dengan perkembangan dan penerapan tes psikologis.

Pengambilan tes di dalam masyarakat kita saat ini dimulai dalam kehidupan awal-awal lalu. Pada kenyataannya, bahkan pada seorang bayi sekalipun juga mungkin diberikan tes perkembangan intelektual mereka selama masa minggu-minggu pertama kelahiran. Tes yang ada telah mengalami perkembangan untuk anak-anak balita dan anak usia pra sekolah, dan kemudian ketika anak memasuki usia sekolah, langkah tes meningkat secara cukup dramatis. Anak-anak usia sekolah tersebut secara cepat mempelajari bahwa tes yang iadakan secara rutin di dalam kelas dan tes akhir nampaknya memeang peranan besar di dalam kehidupan mereka untuk paling tidak kurun waktu dua belas tahun kedepan. Ketika mendekati akhir tahun di sekolah menengah atas seperti SAT atau ACT, para siswa harus menghadapi ujian akhir, yaitu tes yang memiliki pengaruh besar untuk menentukan kemana arah hidup mereka akan dibawa. Tentu saja, masa kuliah berarti sama saja banyaknya tes yang akan dihadapi siswa, dan siswa ambisius akan menghadapi beragam hambatan semacam GRE, LSAT, GMAT, atau MCAT; yait tes yang juga membawa pengaruh admisi menuju kelulusan dan sekolah professional lanjutan. Bahkan ketika seseorang sudah menyelesaikan sekolah, mereka tetap akan menghabiskan hari-hari selanjutnya dengan membicarakan masalah tes yang sepertinya tidak akan pernah menemui ujung akhir. Beragam pekerjaan juga memerlukan tes untuk syarat mendaftar ke dalam profesi tersebut dan untuk tujuan sertifikasi serta lisensi, termasuk diantaranya psikolgi, medis, dan penjualan real estate. Banyak orang diperlukan untuk mengambil paling tidak satu tes sebelum melamar sebuah pekerjaan atau untuk mengajukan promosi di dalam perusahaan. Yang paling luar biasa mungkin bahwa tindakan mengambil tes tersebut menjadi sangat berakar di dalam budaya kita saat ini. Bahkan pada kenyataannya, kita tidak peduli akibat apa yang mampu ditimbulkan dari setiap jawaban yang kita berikan di dalam tes.

Tes prikologis merupakan sebuah fenomena terbaru jika dibandingkan dengan beberapa tes lainnya yang sudah dilakukan selama berabad-abad (Dubois, 1970). Contoh-contoh tes awal yang suah dikenal sudah muncul kira-kira 2200 Sebelum Masehi di Cina ketika kaisar memberikan mandate bahwa semua calon pegawainya harus diuji setiap tiga tahun untuk menentukan kebugaran tubuh mereka agar mampu meneruskan pekerjaan mereka. Tidak banyak fakta yang bisa diketahui tentang contoh-contoh tes di abad-abad pertama, namun kita telah banyak mengetahui mengenai beragam perubahan yang dibuat untuk ujian yang dibuat pada tahun 1115 Sebelum Masehi. Kala itu, para kandidat untuk posisi pegawai pemerintah harus mendemonstrasikan kemampuan mereka di dalam ujian yang mencakup enam seni yaitu dari musik, panah, kemampuan menunggang kuda, menulis, artimatika, dan ritual serta upacara-upacara untuk keperluan public maupun di dalam kehidupan pribadi mereka. Isi dari ujian-ujian semacam itu sangat terfokus pada pendidikan klasik dan dimodifikasi selama kurun waktu beberapa tahun, namun tes tersebut dapat terus dipakai untuk periode hamper 40 abad lamanya. Akan tetapi, pada tahun 1905, system ujian seperti yang disebutkan diatas mulai dihapuskan sehingga memberikan dorongan bagi pihak yang ingin mendaftar dalam posisi di kantor-kantor pemerintahan harus mau tidak mau mendaftarkan diri mereka terlebih dahulu untuk mengikuti pendidikan di pelatihan universitas formal dalam bidang-bidang tertentu, seperti misalkan sains dan atau pengetahuan-pengetahuan moderen lainnya.

Contoh kedua tes dalam sejarah umat manusia adalah pengenalan tes di universitas-universitas di Eropa hampir 800 tahun yang lalu. Tidak ada catatan yang ditemukan baik mengenai ujian-ujian kelengkapan belajar milik institusi Yunani maupun Romawi. Begitu juga tidak adanya catatan mengenai sekolah-sekolah monastery masa abad pertengahan di Eropa yang secara formal menguji pengetahuan para siswanya. Contoh pertama yang diketahui tentang prosedur semacam itu berlangsung pada tahun 1219 ketika fakultas hokum University of Bologna mengharuskan para siswanya untuk lulus dari tes akhir yang diadakan universitas. Selama beberapa abad selanjutnya, beberapa universitas terkemuka lainnya di Eropa mulai membuat ujian untuk para mahasiswa dan pada tahun 1636, Oxfor University mulai memberlakukan tes lisan baik untuk gelar B. A dan M. A.

Tes lisan kemudian digantikan dengan sebuah tes tertulis singkat setelah adanya pengenalan pada makalah yang ada. Jesuit Order mulai mempergunakan ujian seperti itu pada tahun 1540 dan kemudian pada tahun 1599, peraturan formal dipublikasikan untuk mengatur harus adanya tes tertulis. Perkembangan seperti itu memerlukan masa bertahun-tahun untuk dapat dikenal khalayak luas, namun tidak bertahan sampai pada kahirnya tahun 1803 ketika Oxford mulai mempergunakan ujian akhir tertulis. Setelah pihak Oxford mengadopsi system tersebut, ujian akhir tertulis mulai menyebar penggunaanya di seluruh Eropa dan Amerika Serikat. Pada pertengahan abad ke sembilan belas, penggunaan tes tertulis mulai umum untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan perolehan gelar di universitas dan pelegalisiran pekerjaan-pekerjaan tertentu, seperti dalam bidang hokum dan medis.

Perkembangan yang terjadi dalam hal tes muncul secara mandiri dalam profesi sains dan psikologi, akan tetapi tidak sampai pada akhir abad ke sembilan belas dimana psikolgi menjadi sebuah bidang yang terpisah yang muncul di masyarakat. Ahli-ahli psikologis mungkin memang bukan pihak yang menemukan gagasan untuk diadakannya tes, namun secara nyata mereka memiliki kontribusi yang cukup besar di dalam pemanfaatan tes agar lebih berguna di dalam kehidupan sehari-hari sebagai sebuah instrument akurat. Mari coba kita lihat beberapa batu pijakan penting di dalam sejarah dalam bidang tes psikologis (lihat Tabel 1.1).

BATU PIJAKAN BERSEJARAH DALAM TES PRIKOLOGIS

Memang benar adanya bahwa bukan ahli psikologis yang merasa tertarik pada perbedaan perilaku manusia sebagai individu. Ahli teologi, filosofi, dan bahkan kaum politik lah yang telah membawa rasa ingin tahu mereka akan fenomena itu. Sebagai akibatnya, pembentukan psikologi sebagai sebuah bidang terpisah bukan merupakan sebuah peristiwa yang luar biasa. Beberapa gambaran bersejarah yang penting dalam proses perkembangan psikologi di abad-abad awal nampaknya tidak mengenali diri mereka sebagai ahli psikologis. Mereka berpikir kala itu bahwa mereka ahli dalam bidang bilogi, filosofi, atau bahkan eugenistik. Ahli-ahli psikolgi di abad-abad awal tersebut sangat dipengaruhui oleh orang-orang dari beragam tradisi sebelum masa mereka. Seperti salah satu ahli sains yang sangat terkenal kala itu, Sir Francis Galton.

Galton yang datang dari keluarga Inggris yang cukup kaya, tertarik pada sejumlah pencarian ilmiah. Seperti katakan saja, Geografi, yang menuntunnya melakukan beragam perjalanan dan membuatnya sangat tertarik dengan apa yang ia sebut dengan “sisi geografis manusia”. Setelah beberapa refleksi yang dilakukan mengenai beragam masyarakat di sekelilingnya, Galton sampai pada kesimpulan bahwa secara virtual, semua karakteristik manusia didapat karena turunan dan ia menjadi semakin tertarik dengan karakteristik intelejensi manusia. Dengan menggambarkan hasil karya ahli filsafat abad-abad awal, Galton percaya bahwa intelejensi sangat dipengaruhi oleh akuitas indera kita. Ia mengatakan bahwa informasi mengenai dunia luar hanya mungkin akan dating kepada kita melalui indera dan tentu saja dengan hal itulah yang akan mempertajam indera yang ada dan semakin banyak pula informasi yang kita proses. Kepercayaan tersebut dilengakpi dengan penelitian yang Galton lakukan bahwa kurangnya intelektualitas memiliki hambatan dalam membedakan panas, dingin dan rasa sakit.

Galton yang menyadari hal tersebut, maka untuk mempelajari ketertarikannya dalam intelejensi, ia pertama-tama harus mengembangkan sebuah prosedur untuk pengukuran, yang kemudian pada akhrinya ia merancang sebuah alat untuk mengukur karakteristik seperti dalam akuitas visual, auditori, kekuatan otot, dan reaksi pada waktu. Ia membuat sebuah bilik khusus di International Exposition pada tahun 1884 dimana masyarakat kala itu dapat melakukan pengukuran dengan membayar tiga pencesaja. Ketika exposition harus tutup, laboratorium milik Galton kemudian dipindah ke London dan akhirnya masih beroperasi sampai enam tahun setelahnya. Galton menjadi pencetus pertama yang mengumpulkan sebuah data sistematis yang luas mengenai perbedaan-perbedaan individual dalam persepsi manusia dan perilaku mereka (Galton, 1883).

2200 SM

Ujian pegawai negeri di China.

1219 SM

Tes lesan pertama di universitas.

1540 SM

Tes tertulis pertama di universitas.

1599 SM

Jesuit mempublikasikan peraturan untuk adanya tes tertulis.

1636 SM

Oxford mulai memberlakukan tes lisan untuk gelar B. A dan M. A - nya.

1803 SM

Oxford memperkenalkan tes tertulis.

1869 SM

Galton mempublikasikan Hereditary Genius.

1890 SM

Cattel memperkenalkan istial menial test (tes dasar).

1905 SM

Binet-Simon Scale diperkenalkan.

1916 SM

Terman mempublikasikan Stanford-Binet.

1917 SM

Army Alpha dan Army Betha diperkenalkan.

1919 SM

Woodworth’s Personal Data Sheet diperkenalkan.

1921 SM

Rorsach mempublikasikan Inkblot Technique-nya.

1935 SM

Murray memperkenalkan Thematic Apperception Test.

1938 SM

Mental Measurements Yearbook pertama diperkenalkan.

1940 SM

Hathaway dan McKinley memperkenalkan MMPI.

Seorang ahli psikologis dari Amerika Serikat bernama James McKeen Cattel mempelajari perbedaan manusia di Eropa, dimana ia kemudian bertemu dengan Galton di Cambridge yang kemudian tertarik pada topic mengenai intelejensi. Sama halnya dengan Galton, CAttel percaya bahwa intelejensi dapat saja diukur melalui proses psikologis. Dalam sebuah makalahnya yang cukup fenomenal pada tahun 1890, ia menjadi ahli pertama yang mempergunakan istilah “mental test” (“tes mental”) untuk menjelaskan beragam hal yang ia kembangkan untuk mengukur intelejensi.

Selama priode tersebut, ketika banyak ahli psikologis Eropa mempelajari gagasan-gagasan Galton, mereka menambahkan tes yang berhubungan dengan fungsi yang jauh lebih kompleks. Kraepelin (1895) misalnya, mempergunakan tes yang mempergunakan sebuah pengoperasian aritmatika sederhana untuk mengetes praktek akibat dan memori. Oehrn (1889), siswa Kraepelin menyarankan adanya tes persepsi, memori dan asosiasi yang harus ditambahkan ke dalam tes fungsi motorik dalam pencarian untuk mengukur intelejensi. Kemudian Ebbinghaus (1897) menambahkan materi tes dengan adanya tes melengkapi kalimat yang tentu saja berhubungan dengan pencapaian skolastik pada anak-anak.

Perkembangan tersebut mendasari kerangka lanjutan bagi penelitian oleh ahli psikologis Perancis, Alfred Binet yang bersama-sama dengan rekannya, Théodore Simon, mengembangkan Binet-Simon Scale pada tahun 1905. kita akan bersama-sama mempelajari karya Binet dengan lebih terperinci pada Bab 9 nanti. Akan tetapi secara singkat, dapat dikatakan bahwa tesnya merupakan hasil dari sebuah permintaan yang sangat praktis sifatnya. Ia dituntut oleh Menteri Instruksi Umum untuk mempelajari prosedur belajar pendidikan bagi anak-anak yang secara intelektualnya berada di bawah normal. Separuh perjalanan penelitiannya, Binet merasa perlu untuk mengembangkan sebuah tes untuk mengidentifikasi anak-anak tersebut. Ketika ua mengadakan tes yang termasuk diantaranya kemampuan sensorik dan perceptual, ia menekankan pada penilaian yang berdasarkan pada selesai atau tidaknya tes tersebut, pemahaman dan logika – yang berarti sangat menekankan pada pekerjaan-pekerjaan di sekolah. Pada versi yang ada tahun 1905, tes merupakan sebuah instrument preliminer dimananilai akurat akan diperoleh. Akan tetapi, nampaknya revisi yang jauh semakin canggih dipublikasikan pada tahun 1908 dan kembali dilakukan pada tahun 1911.

Binet-Simon Scale menjadi tes pertama yang secara luas dianggap sebagai sarana yang menyediakan sebuah perkiraan berarti untuk intelejensi dan popularitasnya menyebar secara pesat kala itu. Binet-Simon Scale juga diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk diantaranya Bahasa Inggris, dalam beberapa versi. Salah satu dari terjemahan yang ada, yang dilakukan oleh ahli spikologis Stanford, Lewis Terman kemudian dikenal dengan nama Stanford-Binet (Terman, 1916). Instrumen tersebut kemudian terus dipergunakan sampai hari ini. Akan tetapi, terjemahan yang dilakukan oleh Terman menjadi satu revisi yang paling esensial karena meskipun banyak istilah yang ia pinjam dari karya Binet sendiri, namuN Terman juga banyak menambahkan item-item baru. Mungkin kontribusinya yang paling popular dan abadi adalah pengenalan yang ia lakukan terhadap konsep skor IQ yang diperoleh dari pembagian usia mental pasien yang diteliti (sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Binet) dari usia kronologis individu dan mengalikan rasionya dengan 100. Publikasi pada tahun 1916 dari Satnford-Binet itu sendiri memperkuat praktek tes intelejensi.

Yang menjadi daya tarik Stanford-Binet adalah penggunaanya yang sangat terbatas karena memerlukan seorang penguji yang memang benar-benar berkemampuan sehingga dapat melangsungkan tes hanya pada satu orang saja untuk satu waktu tes. Perang Dunia I menjadi inspirasi sebuah perkembangan lebih lanjut yang menuntun pada sebuah peningkatan yang cukup dramatis akan penggunaan tes intelejensi. Ketika Amerika Serikat memasuki kancah perang, sebuah komite ditunjuk oleh American Psychological Association (Asosiasi Psikologi Amerika) untuk menentukan mana saja orang-orang yang benar-benar ahli psikologi untuk membantu usaha perang Amerika Serikat di dalam perekrutan Angkatan BErsenjata. Komite yang berada dibawah Robert M. Yerhes yang meminjam dari karya Arthur Otis, seorang murid dari Terman yang telah mengembangkan sebuah tes intelejensi yang berisi pilihan ganda dan item-item “obyektif” lainnya. Hasil kerja komite tersebut menghasilkan perkembangan dua test yang dikenal dengan nama Army Alpha dan Army Betha. Yang selanjutnya adalah tes non- bahasa yang dapat dipergunakan untuk orang-orang buta huruf dan orang-orang sewaan sejak lahir yang tidak bisa membaca Bahasa Inggris. Penggunaan masa perang menyediakan sebuah demonstrasi yang cukup meyakinkan bahwa tes intelejensi dapat dilangsngkan secara efektif pada kelompok-kelompok besar. Beberapa saat setelah perang berakhir, kelompok-kelompok tes tersebut dilepaskan dari tugas sipil mereka dan seperti yang kita bisa lihat di Bab 10, Otis mengadaptasi tes untuk penggunaan di sekolah. Seiring dengan penerapan yang semakin beragam, maka tidak ada jalan kembali ke pergerakan tes itu sendiri.

Anastasi (1976) menunjukkan bahwa IQ tes, yang sangat menghebohkan di tahun 1920an, memiliki cukup banyak kontribusi terhadap apa yang selanjutnya muncul sebagai skeptimisme mengenai tes psikologis itu sendiri. Instrumen-instrumen awal ini secara relative memang masih dalam bentuk kasar, akan tetapi, secara rutin mereka juga mampu menjadi sarana untuk pengambilan keputusan tenatng anak-anak usia sekolah, admisi masuk ke perguruan tinggi, dan bagkan populasi orang dewasa khusus. Karena praktisnya keputusan yang ada tidak hanya diambil dengan cara kemampuan teknis semata dari tes itu sendiri, maka orang-orang mulai menjadi dis-ilusi, skeptis dan bahkan merasa marah mengenai penyebaran penggunaan tes semacam itu.

Perkembangan yang terjadi di abad-abad awal dalam bidang tes intelejensi nampak membawaakibat pada ketertarikan jenis-jenis tes yang lainnya. Ketika sudah ada kemungkinan untu mengukur intelejensi, maka sejumlah ahli psikologis mulai merasa tertarik untuk meneliti struktur yang ada. mungkin memang tidak diperlukan waktu yang lama untuk mempelajari bahwa intelejensi itu sendiri merupakan satu istilah yang mencapai rangkaian beragam dari kemampuan. Oleh karena hal itu, nampaknya saat ini sudah cukup jelas bahwa tes yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan yang jauh lebih spesifik sifatnya akan sangat bermanfaat. Kenyataan ini membawa pada perkembangan tes kemampuan selama periode tahun 1920an dan kemudian adanya semacam baterai kemampuan multi ragam. Bateri kemampuan multi ragam tersebut mengalami sebuah pertumbuhan yang cukup pesat dalam perkembangannya pada masa Perang Dunia II ketika ia menjadi sebuah kebutuhan penting untuk mengidentifikasi apakah seseorang dengan kemampuan tertentu akan dapat memenuhi syarat untuk menempati posisi teknis dalam Angkatan Bersenjata kala itu.

Keberhasilan tes intelejensi yang telah dilakukan pada abad-abad awal juga membawa pengaruh pada standarisasi hasil tes. Tes yang dilakukan untuk mengukur kemampuan di dalam menulis, mengeja, dan bahkan membaca menjadi sangat popular di awal abad ke dua puluh. Akan tetapi, format tes dengan bentuk soal essay berasal dari akhir abad ke sembilan belas yang memang nampak berat baik itu untuk peserta tes itu sendiri atau untuk sang penguji. Seiring dengan hal tersebut, maka mulai diketahui juga bahwa tim penilai tidak akan sellau setuju bagaimana harus memberi nilai pada setiap jawaban yang diberikan peserta tes pada kertas tes mereka masing-masing. Sebagai akibatnya, format soal pilihan ganda yang telah terbukti efektif untuk kelompok tes intelejensi diterapkan untuk tes akhir. Pada tahun 1930an, pertumbuhan yang cukup pesat dalam hal tes akhir yang dilengkapi pengenalan mesin penilai tes mulai nampak.

Evolusi tes kepribadian tidak linear seperti tes intelejensi. Satu pemula dari tes kepribadian proyektif tidak lain adalah tes asosiasi dari kata-kata yang diungkapkan oleh Kraepelin yang ia pakai untuk mengelompokkan pasien yang menderita karena beragam bentuk psikopatologi. Mungkin contoh-contoh paling awal dari penemuan laporan kepribadian mandiri diperoleh dari Personal Data Sheet, yang dikembangkan oleh Woodworth untuk dipergunakan sebagai sarana screening yang berfungsi untuk mengidentifikasi para pria yang memiliki penyakit syaraf di angkatan bersenjata selama masa Perang Dunia I. tes yang bersisi suatu daftar gejala dan para peserta tes yang diminta untuk mengindikasikan gejala mana ajakah dari semua daftar yang disediakan yang pernah mereka alami sebelumnya. Item sample yang ada termasuk diantaranya, “Saya menumpahkan air minum ke tempat tidur” dan “Saya minum segelas sloki wiski tiap harinya.” Nilai total tes menjadi angka gejala yang dikonfirmasikan oleh para peserta tes. Tes Woodworth diikuti oleh sejumlah inventori laporan mandiri yang serupa, yang kesemuanya didasarkan pada anggapan bahwa para peserta tes yang sudah mempunyai motifasi cukup dan kemampuan untuk memberikan respon secara akurat dan jujur kepada item-item tes yang ada. kritisisme dari anggapan tersebut mulai memuncak pada akhir masa 1920an dan 1930an dan berakibat pada ketertarikan akan inventori yang mulai menurun.

Selama periode tersebut, tes kepribadian proyektif tersebut mulai muncul. Tes emacam itu didasarkan pada anggapan bahwa para peserta tes akan mampu “memproyeksikan” motif, ketakutan, dan konflik tanpa menyadari ke dalam rangsangan tidak terstruktur dan ambigu yang ada. ahli psikiater dari Swiss, Herman Rorschach, mempublikasikan hasil karyanya, Rorschach Inkblot Technique pada tahun 1921 yang sayangnya hanya mampu menghasilkan ketertarikan inisial yang kecil saja. Tidak sampai tahun 1930an, ketika ahli teori yang merasa simpatik pada teori Freud tentang prikoanalisis, ia menemukan tes dan kemudian membawanya ke Amerika Serikat. Asumsi yang didapat memang terlihat kompatibel dengan catatan mengenai proses ketidak sadaran dan popularitasnya yang tumbuh pesat selama periode waktu 1930an dan 1940an. Sejumlah tes proyektif tambahan diperkenalkan pada masa itu, yang beberapa diantaranya seperti Thematic Apperception Test yang dikembangkan oleh Henry Murray dan Christina Morgan pada tahun 1935. kesmeuanya itu akan kita bahas lebih lanjut di Bab 14.

Batu loncatan lainnya yang nampak cukup penting dalam hal tes kepribadian adalah pengenalan akan Minnesota Multiphasic Presonality Inventory (MMPI) pada masa tahun 1940 an oleh Starke Hathaway dan J. Charnley McKinley di University of Minnesota. Tes tersebut berdasarkan pada asumsi yang cukup beragam dari yang pernah dipergunakan oleh Woodworth dan lebih terkesan terstruktur dan inventori laporan mandirinya lebih diperbaharui. Apabila MMPI dimaksudkan untuk penggunaan dengan populasi klinis, maka pendekatan untuk tes kepribadian yang dilakukan oleh Hathaway mampu membawa pengaruh yang cukup signifikan untuk adanya perkembangan sejumlah tes-tes yang lainnya, yang banyak diantaranya dimaksudkan untuk mengukur karakteristik kepribadian dalam populasi normal. Kita harus meneliti hal tersebut lebih jauh di Bab 13 nanti.

Meskipun ada sedikit jumlah kaum skeptis yang muncul pada tahun 1920an tentang tes psikolgis, namun perkembangan tes intelejensi, kemampuan, pencapaian dan tes kepribadian yang membawa cukup kontribusi ke dalam pertumbuhan popularitas dan penerimaan ilmu psikologi itu sendiri menjadi satu bidang studi tunggal dan bahwa tes psikologis itu sendiri tetap bertahan dengan baik sampai akhir tahun 1950an atau awal tahun 1960an (Maloney & Ward, 1976). Selama kurun waktu 1960an dan 1970an, sejumlah tren yang lebih baru dan sangat berbeda mulai memasuki ilmu-ilmu yang sudah ada, seperti yang disebut Maloney dan Ward sebagai istilah “Era of Discontent” (“Jaman Kekosongan”). Yang pertama, buku laris yang dipublikasikan selama masa tersebtu yang berisi tentang peringatan kepada public mengenai kesalah penggunaan potensial atau bahkan mungkin saja bahaya dari tes psikologis. Sebagai contoh misalkan saja, Whyte (1956) dalam Organization Man mengatakan bahwa tes tidak dipergunakan untuk memilih orang-orang yang memang memiliki kualitas baik atau diharapkan baik dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan. Karena sebenarnya, menurut Whyte, orang-orang yang seharusnya menduduki posisi bagus dalam organisasi dan dapat melakukan tugasnya dengan baik bukanlah orang-orang yang mengikuti tes psikologi dan melewatinya dengan baik, akan tetapi orang-orang yang memberikan dukungan akan prinsip tradisional yang kurang menerima perubahan, atau yang memang merasa cocok dengan status quo organisasi. Sebuah gambaran kehancuran tes psikologis dibawakan juga oleh Paul Houts (1977) dlam The Mythof Measurablity. Di sana, Hout berargumen bahwa tes yang dikembangkan dengan setengah-setengah dan hanya berdasarkan pada asumsi yang tidak dapat dipastikan kebenarannya, dimana hanya dapat menilai orang-orang kreatif dengan harga mati semata dan akan merusak anak-anak yang dicap sebagai anak-anak kurang bagus dalam hasil tes dasarnya. Sebuah tema yang kembali terulang mengenai buku tersebut adalah tesnya itu sendiri, yang dikembangkan oleh kaum-kaum khusus yang juga mmeiliki hak-hak dan kewenangan khusus, dipergunakan sebagai sebuah sarana dominasi melawan kaum lemah untuk memelihara status quo mereka.

Selama periode yang sama juga, sejumlah keputusan resmi juga merefleksikan sentimental yang menunjukkan anti terhadap tes. Pada tahun 1967, seorang hakim federal yang bertugas di Hobson v. Hadsen dimana kemampuan kelompok yang distandarisasi menjadi instrument bias yang mendiskriminasi kaum minoritas dan membawa imbas pada tidak dipergunakannya kesempatan untuk menempatkan anak-anak dalam kelas-kelas pendidikan khusus. Dua belas tahun kemudian, dalam Larry P. v, Wilson Riles, seorang hakim lainnya di Distrik Utara California juga membawa sebuah peraturan yang serupa yang berhubungan dengan penggunaan IQ individu di sekolah-sekolah. Beberapa kasus peradilan juga terjadi untuk memberikan batasan pada penggunaan tes psikologis dalam penempatan tenaga kerja. Dengan memikirkan mengenai kemungkinan penyalah gunaan SAT yang berakhir di New York Truth in Testing Law, yang mana diantara hal-hal lainnya, memerlukan penerbit tes untuk selalu menyediakan sebuah salinan pertanyaan tes yang akan diselenggarakan, kunci jawaban dan jawaban untuk para peserta tes bagi siswa yang memintanya. Sedangkan sementara itu, ketika tes sebelumnyatelah dipandang sebagai sebuah sarana yang mampu memberikan konstribusi pada sebuah masyarakat yang jauh lebih adil, maka pada akhir tahun 1960an dan 1970an maka mulai dipandang sebagai hambatan individu yang menghalang-halangi banyak orang untuk mencapai tujuan mereka.

Sementara itu ketika “Era Kekosongan” yang sebagian disebabkan oleh adanya miskonsepsi mengenai baik tes maupun permasalahan social yang jauh lebih luas, maka ahli psikologis tidak dapat disalahkan. Bahkan mereka sudah gagal untuk mengkomunikasikan secara jelas kepada masyarakat mengenai batasan teknis dari tes itu sendiri dan batasan konsekuen yang berhubungan dengan informasi yang bisa saja diperoleh dari mereka. Bahkan lebih parahnya lagi, ahli-ahli psikologis dan penerbit tes menjadi pihak yang bersalah dalam praktek gabungan yang menyelenggarakan penyalah gunaan dari tes itu sendiri.

Dikarenakan oleh semua masalah tersebtu diatas, maka bidang tes psikologis mulai berkembang. Salah satu daftar karya tulis acuan sejumlah 3009 yang secara komersil tersedia untuk tes psikologis saja suah ada pada tahun 1994 dan sebuah peningkatan sebesar kurang lebih 12,6 persen sejak edisi sebelumnya dipublikasikan pada tahun 1983 (Murphy, Conoley & Impara, 1994). Dagtar referensi lainnya sejumlah 418 yang baru maupun yang sudah direvisi menjadi tes yang komersil di periode waktu dari taun 1992 sampai 1995 (Connoley & Impara, 1995). Raturan tes tambahan dipublikasikan dalam karya tulis literature yang jauh lebih professional setiap tahunnya. Tes psikologis tidak akan hilang semudah itu dan justru karena tes tersebut mampu membawapengaruh yang cukup besar di dalam kehidupan banyak orang, maka akan snagat bersifat imperative bagi masyarakat yang mengembangkan tes dan mempergunakannya untuk memelihara standar tertinggi, baik itu tes ilmiah dan etika. Besar harapan kami bahwa buku ini akan dapat memberikan kontribusi meskipun kecil sampai akhir nanti.

KARAKTERISTIK TES PSIKOLOGIS

Sebuah tes psikologis dapat didefinisikan sebagai sebuah ukuran obyektif dan standar untuk sebuah sample perilaku. Definisi ini memberikan gagasan bahwa tidak setiap kumpulan pertanyaan akan mampu dikategorikan sebagai tes prikologis. Kuis-kuis yang secara umum dapat anda temukan di dalam majalah misalnya, sangat jarang dapat memenuhi criteria untuk dapat dikatakan sebagai tes psikologis. Nilai yang diperoleh dari pengisian kusi-kuis semacam itu mungkin hanya akan mencerminkan pendapat dari sang penulis yang katakana saja misalkan berhubungan dengan karakteristik seorang pasangan yang baik atau tanda-tanda jaminan pribadi. Akan tetapi, kecuali dengan prosedur yang benar-benar pasti dan terjamin dibuat dalam mengembangkan soal-soal kuis majalah tersebut, maka nilai yang diperoleh dari pengukuran instrument semacam itu tidak akan mampu mengukur apapun kecuali hanya akan mengungkapkan opini pribadi sang penulis semata. Mari kita coba melihat cara mendefinisikan cirri-ciri tes psikologis yang sebenarnya.

Tes Hanya Mengukur Perilaku

Seperti yang bisa dilihat dalam daftar isi dari teks bacaan ini, ahli-ahli psikologis memberikan label pada tes yang menyarankan kualifikasi mereka dalam mengukur karakteristik tertentu. Kami memiliki tes intelejensi, tes kepribadian, tes profesi, dan lain sebagainya. Akan snagat mudah untuk membaca label yang ada tersebut, karena pada kenyataanya, tes hanya terbatas dalam mengukur perilaku saja. Tes intelejensi mengukur intelejensi seseorang dengan cara seperti seberapa cepat seseorang dapat merangkai kotak-kotak untuk mencocokkan dengan rancangan tertentu yang diminta. Tes kepribadian mengukur tendensi untuk membuktikan item-item seperti misalkan “Saya butuh banyak kesenangan dalam hidup.” Dan tes profesi mengukur ekstensi dimana seseorang setuju atau tidak dengan pernyataan seperti “Saya sangat menikmati belajar hal-hal baru.”

Apa yang membuat tes psikologi berbeda dengan tes atau kuis yang ada dalam majalah adalah bahwa pembuat tes professional tidak hanya memberikan anggapan bahwa dikaranekan item-item dalam tes dapat merefleksikan intelejensi, kepribadian, atau tes profesi dimana cirri-ciri tersebut berhubungan dengan nilai dalam tes. Pembuat tes mengikuti sebuah prosedur tertentu untuk memastikan bahwa perilaku yang diukur oleh nilai dalam tes secara konsisten memang benar-benar berhubungan dengan cirri-ciri ketertarikan. Kedua tahap dalam prosedur tersebut dirancang untuk membentuk reliabilitas dan validitas tes itu sendiri.

Reliabilitas

Dalam istilah tes psikologis, reliabilitas sama artinya dengan konsistensi. Untuk menggambarkannya dengan lebih mudah, coba kita pergunakan contoh sebuah tes kepuasan perkawinan. Satu anggapan bahwa ahli psikologis akan membuat kepuasan perkawinan sangat bersifat relative stabil dalam kualitasnya. Sementara itu sebenarnya hal tersebut dapat saja berubah dengan sangat dramatis dari tahun ke tahun berikutnya. Kita akan memiliki harapan bahwa satu pasangan yang melaporkan bahwa mereka sangat bahagia menikah di satu masa, tentu saja akan tetap melaporkan bahwa mereka tetaplah pasanaggan pernikahan yang bahagia meskipun sudah berganti waktu dan suasana. Pengembang tes baru-baru ini harus menunjukkan bahwa pengukuran akan pernikahan dan kepuasan di dalam pernikahan sangat berhubungan dengan konsisten dari satu minggu ke minggu yang lainnya dalam kehidupan pasangan.

Reabilitas juga bersifat kritis dalam artian semua tes yang dipergunakan untuk membuat keputusan atau untuk memperkirakan masa depan para peserta tes. Pasangan yang menerima nilai rendah dalam pengukuran kepuasan perkawinan mereka misalnya, mungkin akan mengacu pada pasangan yang mengikuti program konseling pernikahan. Keputusan semacam itu tidak dapat dibuat dengan pasti apabila nilai tes yang diperoleh pada kenyatannya tidak konsisten. Apabila kita memiliki alas an untuk percaya bahwa pasangan yang memperoleh nilai rendah dalam tes pertama mungkin akan memperoleh nilai yang jauh lebih tinggi di hari berikutnya, maka kita tidak boleh mempergunakan tes tersebut untuk menentukan keputusan bahwa mereka perlu mengikuti program konseling pernikahan tentunya. Seperti yang kita bisa lihat di Bab 4, banyak jenis reliabilitas. Akan tetapi, dalam semua kasus dimana pengembang tes harus mengumpulkan data untuk mendokumentasikan semua instrument yang sifatnya dapat diandalkan dan dapat dipercaya (reliable).

Validitas

Langkah kritis kedua dalam prosedur untuk memastikan bahwa perilaku yang diukur dengan tes merefleksikan karakteristik ketertarikan adalah untuk membentuk anggapan bahwa tes tersebut bersifat valid. Validitas dalam hal ini berhubungan dengan apa yang dapat diukur oleh tes dan sebaik apa tes yang dilakukan dapat mengukurnya. Setelah mendemonstrasikan bahwa nilai yang kita peroleh di dalam tes kepuasan perkawinan dapat mengukur beberapa cirri-ciri dengan cara yang konsisten, maka kita harus mengumpulkan bukti-bukti yang mampu mengukur beberapa karakteristik, dalam kepuasan perkawinan itu sendiri. Satu cara lansgung untuk melakukannya adalah dengan cara memberikan beberapa jumlah pasangan dalam tes dan mencoba mengikuti kehidupan mereka selama masa satu tahun atau untuk menentukan apabila nilai yang diperoleh dalam tes berhubungan dengan kemungkinan untuk diadakannya konseling atau untuk memutuskan untuk berpisah. Apabila pasangan yang memperoleh nilai rendah lebih ingin untuk mencari terapi akan permasalahan dalam perkawinan mereka atau untuk berpisah daropada pasangan yang memperoleh nilai yang lebih tinggi, maka bukti yang kita dapatkan dalam tes berrati benar-benar mengukur kepuasan perkawinan mereka. Seperti yang ada dalam kasus reliabilitas, beberapa jenis yang berbeda dari validitas sangat tergantung pada kelamiahan tes dan bagaimana tes tersebut dapat dipergunakan. Jenis semacam ini akan dibahas di Bab 5.

Tes Menyediakan Sebuah Sampel

Di bagian awal bab ini, kita telah membuat satu poin tes dimana dalam kenyataannya hanya mengukur perilaku. Kita dapat mempertajam konsep yang ada dengan cara menambahkan bahwa mereka hanya akan mempergunakan sebuah sampel perilaku yang disukai saja. Untuk mengganti contoh yang ada, coba kita pikirkan ujian akhir yang mungkin anda ambil dalam tes psikologis. Tujuan ujian akhir tersebut adalah untuk mengukur satu tingkatan tertentu akan satu materi yang sudah and apelajari sbeleumnya. Karena anda harus membaca sebuah teks bacaan yang kira-kira sepanjang 180.000 kata dan untuk mendengarkan percakapan selama kira-kira 40 jam dalam kursus anda bersama guru, maka sebuah tes yang lengkap akan membutuhkan ribuan item agar mencakup semua materi yang anda pelajari. Secara jelasnya, cara semacam ini tidak akan bersifat praktis ata bahkan seharusnya tidak perlu dilakukan. Sebuah ujian akhir yang dirancang dengan baik yang berisi 100 item saja dapat menyediaka sebuah sample yang cukup dari perilaku yang dipelajari sama halnya dengan sebuah tes darah yang menyediakan satu tabung sample darah dari jumlah dara di seluruh tubuh anda. Serupa dengan misalkan para ahli fisika menghasilkan sebuah penelitian dari tes laboratorium merea tentang beberapa jumlah sentimeter kubik darah saja untuk bisa menentukan keadaan keseluruhan suplai darah di dalam tubuh, maka instructor yang ada juga dapat menyimpulkan dari performa anda dalam ke-100 item tes saja untuk pada akhirnya membuat kesimpulan keadaan tes psikologis anda secara keseluruhan. Hal semacam ini tentu saja selalu menjadi hal baru bagi pengembang tes untuk mengembangkan bahwa sample item dalam tes bersifat representative untuk area perilaku yang lebih luas dari yang akan dipelajari. Dengan menyediakan dokumentasi semacam ini menjadi sbeuah elemen kristis dari proses membentuk sebuah tes psikologis.

Tes Distandarisasi

Istilah standarisasi mencakup beberapa elemen proses tes dan dua diantaranya merupakan keseragaman administrasi tes dan penilaian tes itu sendiri. Dikarenakan sebgaian besar tes yang dipergunakan untuk membuat perbandingan antar beragam orang, maka akan sangat kritis bahwa setiap orang yang mengikuti tes memang berada dalam konsisi yang serupa. Untuk memastikan keadaaan tersebut bisa terjadi, para pengembang tes harus menyediakan isntruksi-instruksi dalam bentuk yang terperinci sebelum melangsungkan tes. Instruksi semacam itu secara umum mapu mengspesifikasikan materi yang akan dipergunakan, batasan waktu, demonstrasi atau instruksi yang diberikan oleh penguji dan sikap bagaimana para peserta tes memberikan jawaban pada setiap pertanyaan tes. Dalam tes intelejensi seorang individu misalnya, sebuah senyuman kecil dan mungkin menaikkan alis mungkin akan mendorong sang peserta tes itu untuk mengelaborasikan sebuah respond yang akan menuntun mereka memperoleh nilai tinggi. Mungkin akan sangat kritis untuk melakukan tes dalam kondisi yang sama apabila perbandingan yang dibuat diantara nilai yang didapat.

Standarisasi penilaian merupakan aspek lainnya dari perkembangan tes psikologis. Dalam banyak kasus, hal semacam ini memang tidak bergitu diperhatikan. Dengan soal pilihan ganda atau tes soal benar salah, selama penilai teliti, maka tes yang diselenggarakan akan secara otomatis bersofat terstandarisasi. Akan tetapi, tes lain memiliki format essay (jawaban panjang). Tes intelejensi individu memerlukan para peserta tesnya untuk mendefinisikan beberapa kosakata tertentu dan tes yang dilakukan dalam kelas seringkali memerlukan jawaban panjang atau essay. Dalam hal semacam ini, maka pembuat tes harus menyediakan instruksi dalam bentuk yang lebih terperinci, yang dilengkapi dengan banyak contoh, dan juga memberikan gambaran kepada peserta tes mengenai dari segi apakah jawaban mereka akan dinilai.

Pengartian nilai juga harus dilakukan dalam cara yang standar. Hal ini akan memerlukan sebuah perkembangan kelompok normative untuk menyediakan sebuah kerangka referensi untuk mengartikan nilai perolehan akhir dalam tes. Kelompok normative yang dimaksud adalah sekumpulan besar orang yang representative untuk jenis orang yang ingin mengikuti tes. Tanpa kerangka taua referensi semacam itu, maka akan sangat mungkin untuk berkata bahwa nilai yang diperoleh di dalam ujian di ujian akhir anda jelas bagus atau jeleknya. Jika anda mampu menjawab benar paling tidak 80 persen dari item tes keseluruhan, maka kemungkinan yang ada adalah antara hasil yang sangat bagus atau justru sangat jelek, yang semuanya tergantung dari bagaimana siswa yang lain memperoleh nilai mereka dibandingkan dengan nilai anda. Apabila nilai tertinggi di dalam kelas adalah 75, maka secara jelas nilai yang akan anda peroleh adalah 80 yang berarti mencerminkan pengetahuan anda yang luar biasa. Akan tetapi, jika nilai terendah yang ada adalah 85, maka nilai anda bisa dikatakan kurang baik dan anda kurang menguasai materi yang diberikan atau memang anda kurang belajar dengan baik dibandingkan teman-teman anda yang lainnya.

Tes Bersifat Obyektif

Sebuah tes dikatakan bersifat obyektif apabila dalam pelaksanaan, penilaian dan pengartin nilainya tidak tergantung pada penilaian subyektif dari satu pihak yang terkait dengan kegiatan tersebut. Ketika siswa biasanya membedakan antara tes pilihan ganda, yang seringkali dikatakan jauh lebih obyektif dan tes essay, yang banyak orang beranggapan lebih subyektif, maka definisi tersebut mengindikaskan bahwa sebenarnya subyektif atau tidaknya sebuah tes bukan terletak pada format tes yang diberikan, akan tetapi lebih kepada prosedur yang diikuti dalam proses pembuatan soal tes dan penggunaannya. Oleh karena alas an tersebut, maka tes essay merupakan sebuah bentuk tes yang obyektif apabila memang dapat diselenggarakan dimana nilai seorang individu tidak tergantug dari siapa yang memberikan tes atau menilainya.

Penyimpangan obyektivitas dengan standarisasi seringkali mencakup wilayah yang luas. Seperti yang sudah kita katakan sebelumnya, pihak pengembang soal tes harus menyediakan panduan yang terperinci untuk jawaban nilai; yang tentu saja akan membuat obyektivitas, dan tentunya standarisasi akan mudah dan mungkin dilakukan. Akan tetapi, di dalam kasus soal essay dan format item lain yang bersifat open-ended (jawaban bebas), maka akan snagat penting untuk mendemonstrasikan bahwa tujuan obyektivitas sudah dicapai. Seperti yang bisa kita lihat di Bab 4, hal semacam ini bisa dilakukan dengan memiliki dua orang untuk menilai beberapa tes dan kemudian untuk menentukan korelasi antara kedua rangkaian nilai. Dalam dunia nyata, obyektivitas sempurna dalam penilaian untuk soal-soal yang memiliki format jawaban bebas tentu saja sangat terdengar idealis. Akan tetapi, sebuah standar yang cukup tinggi harus mampu dicapai jika kumpulan item yang berhubungan dengan tes adalah untuk memuaskan criteria professional untuk sebuah tes psikologis yang sebenarnya.

Konsep obyektivitas dapat saja dipelruas untuk menentukan tingkat kesulitas dari masing-masing item dalam tes. Untuk memenuhi kualitas sebagai sebuah tes psikologis yang obyektif, maka tingkat kesulitan dari item dari ujian akhir anda harus ditentukan secara empiris. Untuk prosedur yang lebih detail mengenai hal tersebut dapat kita lihat di Bab 7, tapi secara singkat, instructor anda mungkin harus mengumpulkan informasi selama kurun waktu beberapa tahun, atau paling tidak secara informal, mempertimbangkan prosentasi siswa yang diharapkan dapat menjawab soal tes dengan benar untik item yang berbeda-beda. Dengan alas an tersebut, maka sebuah item akan dicap sebagai sebuah item yang sulit dari obyektivitasnya jika hanya ada 20 persen dari jumlah siswa yang menjawab benar. Sebuah item yang mudah berarti 90 persen siswa akan menjawab benar.

SUMBER INFORMASI TES

Salah satu tujuan paling penting dari teks ini adalah untuk memberikan sebuah latar belakang yang perlu yang akan memungkinkan anda untuk mampu mengevaluasi kecukupan sebuah tes psikologsi yang bisa anda lakukan sendiri. Karena saat ini saja mungkin suah ada kira-kira 10.000 tes psikologis yang tersedia, baik itu secara komersil maupun dalam bentuk yang professional yang memungkinkan buku panduan manapun untuk bisa menyediakan lebih dari sample tes yang anda ingin pergunakan. Bab 2 sampai 8 akan memberikan masukan bagus mengenai teori prikometris yang bisa anda pergunakan untuk mengevaluasi tes apapun. Sisa buku ini akan membahas halhal yang sudah dipilih, yaitu tes yang sudah sering dipergunakan secara luas untuk menggambarkan aplikasi beragam dari tes dan melengkapi anda dengan beberapa hal khusus untuk tes-tes tertentu.

Sedikit lagi hal penting yang anda perlukan adalah dimana anda harus mencari informasi tentang tes psikologi. Dengan banyaknya ragam tes yang tersedia, maka dengan menemukan informasi mengenai tes siapapun akan sangat melelahkan. Untuk memulainya, cobalah Test in Print IV (Murphy , Conoley & Impara, 1994). Volume ini menyediakan informasi tentang semua (sesuai dengan kemampuan editor untuk memilih) tes yang saat ini tersedia yang dapat anda beli dari penerbit tes manapun. Mungkin untuk lebih pentingya lagi, tes ini menyediakan referensi akan informasi lebih lanjut yang termasuk di dalamnya artikel jurnal dan tinjauan ulang. Dalam buku referensi yang berjudul The Mental Measurements Yearbook (MMY), tinjauan kembali yang anda perlukan bisa diperoleh di dalamnya, volume nomer dua belas dan yang paling baru sekalipun yang dipublikasikan pada tahun 1995 terdapat dalam buku ini. Volume yang baru-baru ini keluar juga tersedia dalam bentuk CD-ROM. Masing-masing volume berisi tinjauan kembali tentang sebagian besar tes yang ada dalam bentuk lebih terperinci. Tes yang ditinjau dalam buku ini adalah yang dipublikasikan dalam bentuk revisi dari edisi yang sebelumnya telah keluar. MMY kedua belas memiliki paling tidak 418 tes di dalamnya. Tinjauan kembali untuk tes-tes terdahulu dapat ditemukan di volume sebelumnya. Sejumlah jenis ragam tes dapat anda lihat di Tabel 1.2. Sebuah tes yang serupa, Test Critiques, Volume I – X (Keyser & Sweetland, 1984 – 1994) menyediakan sebuah deskripsi jelas dari masing-masing tes yang ada, penerapan praktisnya dan penggunaannya. Karakteristik praktis dari tes tersebut dan juga evaluasi secara keseluruhan yang diberikan oleh pengamat tes juga tersedia dalam buku ini.

Meskipun saat ini, satu tes panduan yang sangat bermanfaat namun tidak dalam bentuk publikasi sudah disediakan oleh Goldman dan Osbourne (1985) dalam seri empat volume buku mereka, Unpublished Experimental Mental Measures. Seri ini mencakup paling tidak 3500 tes yang sudah ada dalam literature ilmiah namun tidak dipublikasikan untuk kepentingan komersil. Masing-masing masukan di dalamnya berisi ringkasan singkat mengenai penelitian yang relevan dengan tes. Sumber informasi lain tentang tes yang tidak bersifat dipublikasikan adalah Psychological Abstracts. Beberapa jurnal baik dalam psikologi maupun pendidikan terfokus pada tes perkembangan dan tes penerapan, dan banyak lainnya termasuk artikel-artikel mengenai tes yang dipergunakan dalam penelitian mereka. Meskipun tidak ada cara untuk mengetahuinya secara pasti, namun sebuah pencarian cepat berbasis computer memberikan gagasan bahwa ratusan jenis tes dipublikasikan dalam jurnal ini tiap tahunnya.

Sebagai sebuah langkah akhir, seseorang harus membaca panduan manual yang bersamaan dengan tes. Ketika review yang disediakan dalam sumber-sumber seperti The Mental Measurements Yearbook berfungsi sebagai titik poin permulaan yang kurang berharga, namun tetap saja tanggung jawab pengguna tes untuk menentukan apabila sebuah tes tertentu cocok untuk sebuah situasi yang jauh lebih spesifik. Satu jenis tes mungkin secara teknis luar biasa namun kurang sesuai untuk keadaan tertentu. The Wesclehr Adult Intelligence Scale (WAIS-R) mislanya, mungkin saja tes intelejensi individu yang dibentuk dengan paling teliti. Akan tetapi, meskipun tes ini dikategorikan bagus, akan ada juga kemungkinan bahwa tes ini tidak akan menjadi tes terbaik jika dipergunakan untuk orang dewasa yang mana Bahasa Inggris menjadi bahasa kedua mereka. Hal tersebut dikarenakan tes ini memiliki anggapan bahwa peserta tes sudah tahu banyak dan terbiasa dengan informasi yang sangat berhubungan dengan budaya Bahasa Inggris.

Klasifikasi

Jumlah Total

Baru

Revisi Sejak Tahun 1992













TES PSIKOLOGIS DAN ETIKA

Dikarenakan banyak orang diminta untuk mengambil tes psikologis dan karena hasil yang diperoleh dari tes ini dapat membawa sebuah pengaruh besar dalam kehidupan mereka, maka akan snagat kritis bahwa ahli psikologis memelihara standar moral dan standar etika paling tinggi baik dalam perkembangan dan penerapan tes psikologi yang mereka lakukan. Pada kahirnya, the American Psychological Association – bekerja sama dengan American Educational Research Association – mulai mengambil langkah untuk mengembangkan standar professional yang menerapkannya ke dalam perusahaan umum untuk tes begitu juga untuk beberapa area tertentu, seperti misalnya psikologi klinis, psikologi konseling, psikologi sekolah, dan psikologi indutri atau psikologi organisasi. Dua atau lebih dari rangkaian umum panduan yang ada adalah the Standards for Educational dan Psychological Testing (1985), dan “Ethical Principles of Psychological and Code of Conduct” (1992).

Di dalam the Standards for Educational dan Psychological Testing, menyediakan sebuah pembahasan terperinci tentang standar teknis dan professional yang dimasukkan dalam pembentukan tes psikologi, pengartian, dan juga penerapannya. Publikasi ini khususnya sangat relevan bagi semua pihak yang memang benar-benar menyusun dan mengembangka tes psikologi. Materi dalam Bab 3 sampai 8 akan mencakup karakteristik teknis tes psikologis yang menyediakan inti sari dari informais yang terkandung dalam publikasi.

Sedangkan “Ethical Principles of Psychological and Code of Conduct” lebih menekankan pada perilaku profesional dari ahli psikologi. Semuanya ditulis secara umum bagi semua kalangan ahli psikologis, tidak termasuk spesifikasi bidang, akan tetapi beberapa pinsip sangat khsusu untuk perkembangan dan penggunaan tes itu sendiri. Ditambah lagi, beberapa dari prinsip yang lebih umum memiliki implikasi jelas yang berhubungan dengan masalah etis yang nampak mulai muncul dalam tes itu sendiri. Beberapa situasi yang bermasalah mungkin saja muncul, karena panduan etis hanya sekedra berfungsi sebagai panduan, maka tidak bisa dipergunakan untuk mencegah semua permasalahan untuk tidak datang atau juga tidak bisa dipergunakan untuk menyediakan solusi untuk setiap masalahan yang hadir. Kita akan mencoba meneliti contoh-contoh dari beberapa sitasi bermasalah di bawah ini. Jika saja mungkin siapapun yang sudah mengantisipasi dengan mencoba berada dalam posisi yang memerlukan penggunaan tes psikologis maka ia memerlukan tanggung jawab yang sangat umum dengan teks penuh dari “Ethical Principles” itu sendiri. Tabel 1.3 memberikan sebuah daftar tanggung jawab utama dari ahli-ahli psikologis untuk mengembangkan dan mempergunakan tes begitu juga dengan hak-hak yang dimiliki para pihak yang diminta untuk mengikuti tes.





Pengakuan Terinformasi

Para peserta tes memiliki hak untuk tahu tentang keaslian tes yang mereka ikuti dan bagaimana hasil yang dipergunakan sbeelum mereka memutuskan untuk mengikuti prosedur asesmen. Yang seringakli terjadi, dalam persyaratan etis tidak menunjukkan masalah apapun. Siswa yang mengambil SAT tahu sesuatu tentang keaslian tes yang mereka hadapi dan mereka juga mampu mengspesifikasikan isntitusi mana yang akan dikirimi hasil tes mereka itu. Para peserta untuk tenaga kerja diberi tahu (Dan memang seharusnya diberi tahu) bahw ates yang akan mereka kerjakan menyediakan sebuah pengukuran kemampuan atau karakteristik pribadi dan bahwa perusahaan akan mempergunakan hasil tes itu untuk membuat keputusan siapa yang akan dipekerjakan berdasaran hasil tes yang diperoleh.

Akan tetapi, di beberapa institusi, criteria untuk pengakuan yang terinformasi tersebut tidak selalu jelas. Beberapa jenis diantaranya tiak akan bekerja dengan baik apabila para peserta tes diberi tahu secara keseluruhan mengenai bagaimana hasil tes itu akan dipergunakan atau difungsikan. Sebagai contohnya, sang penulis, mengkonsultasikan sebuah perusahaan yang secara rutin mengadakan tes untuk para pelamar yang diminta secara akurat bahwa tes menyediakan sebuah pengukuran umum fungsi kepribadian dan yang berani jujur dalam menjawab pertanyaan tes. Tentu saja dapat dimengerti bahwa pihak perusahaan ingin menyediakan paduan yang sesuai antara persyaratan untuk menempati suatu posisi tertentu di perusahaan dengan kekuatan sang pelamar. Sebagai akibatnya, hasil ideal

this is my blog


blog ini saya buat untuk menambah pengetahuan tentang berbagai informasi dan untuk saling ber-sharing pengetahuan antar mahasiswa yang ada di kelas atau kampus sekitarnya. berbagai pengetahuan saya tampilkan didalam blog saya ini.sehingga dapat mempermudah kita dalam berbagi pengetahuan terutama dalam kuliah saya saat ini yaitu MANAJEMEN PENGETAHUAN DAN PSSI(PERENCANAAN STRATEGI SISTEM INFORMASI)